Ku tatap wajah lembutnya. Teduh walau peluh. Bertanya dalam hati, berapa banyak keringat mengucuri wajah halusnya?
Ku cium tanganya. Penuh dengan sedih yang kurasa. Sudah berapa lama kau berjuang dengan kerasnya hidup?
"Ibu, aku pamit sekolah"
"Tidak makan? Ibu siapkan ayam kesukaanmu"
"Maaf bu, keburu! Kalau makan nanti telat."
***
Ku masuki kelas, gaduh. Semuanpada sibuk dengan banyak kertas dan buku.
"kamu sudah ngerjain PR matematika?" ucap teman sebangkuku
"ah santai. Gurunya pasti lupa"
"iyasih. Yaudah nanti aja gampang"
Pelajaran pertama dimulai. Membahas bagaimana revolusi perancis tercipta. Semula tenag, menyimak. Lambat laun denting jam menunjukkan bahwa kebosanan menyusup. Gaduh terasa.
Ku sapu pandanganku. Semua sibuk dengan dunianya sendiri. Sementara guru ini? Tetap saja mengoceh dengan PDnya.
"jam berapa istirahat?" ujarku yg sudah bosan
"lima menit lagi. Food Court yuk?"
"oke..."
***
[FOOD COURT]
"ini pertanyaan kepo amat!" Ucap teman sebangkuku seraya memakan nasi dan mengamati handphonenha
"apa pertanyaanya?"
"gini, sudahkah kau membuat ibumu tersenyum luar dalam?" Ujar temanku itu sambil mengeutkan kening.
" kamu jawab aja pertanyaan itu dengan jawaban
kepo" ujaarku dengan tersenyum
Seusai makan, aku dan temanku kembali ke kelas.
Pertanyan itu, iya itu. Sudahkah? Teringat ku menyentuh kulit tanganya. Sedang apa ibuku? Pasti mengajar.
***
"nak, jangan lupa sholat magrib ya!"
"iya bu. Bu, nanti malam sibuk?"
"kayaknya
ndak kenapa nduk?"
"nanti malam aku mau tanya PR"
"sekarang aja! Selepas kau sholat, ibu tunggh di ruang santai"
Aku mengangguk tanda mengiyakan. Dalam sujudku, hati menangis. Teringat bahwa aku hanya menhyusahkannya.
Selepas sholat, kutemui ibu. Beliau berkutat dengan laptopnya. Pasti nanti malam ngelembur. Lalu kenapa harus berbohong bilang tidak sibuk? Lagi dan lagi menyusuri hati rasa sedih ini.
"sibuk bu?"
"
ndak. Cuma ngerjain BOS. Mana PRnya?"
"ini PRnya"
Kupegang kertas kosong. Sengaja untuk media. Kulayangkan pertanyaan tadi.
"bu, pernahkah aku membuatmu tersenyum luar dan dalam?"
Kata-kata itu keluar dengan mulus. Hanya mencoba agar tidaknada hujan di pipi.
Kulihat ibu menghentikan aktivitasnya dan melihat kearahku. Seraya berkata
"memilikimu dan kedua adikmu itu bahagia ibu. Merawat dan tumbuh bersama dengan kalian adalah hari yang tak bisa dibeli. Semua yang ibu kerjakan dan lakukan itu semata untuk anak-anakku. Tersenyum bukan berarti bahagia. Tapi bahagia pasti tersenhum luar dan dalam nak." ibu berkata dengan nada lembutnya.
Setets demi setetes mulai membasahi pipi. Kucoba melayangkan lagi pertanyaan. Tentu dengan kertas kosong ini.
"apa yang ibu harapkan dari aku?"
"cuma tiga nak. Jadilah kamu anak yg sholehah, punyalah kamu ilmu yang bermanfaat, dan pedulilah kamu pada sesamamu"
Lagi ku menangis. Hanya itu? Meski hanya itu kutahu diri ini seraya sulit melakukannya. Kucoba lagi bertanya
"bu, pernahkah aku melukai hatimu?"
Tak perlu ibu menjawab. Aku langsung memeluknya. Pertanyaan itu sudah sangat aku tahu. Ibu pasti akan berbohong. Oh ... Ibu maafkan aku bilaku selalu belok akan perintahmu.
Malam itu kulihat ibu tersenyum dengan mata berkaca. Tuhanku benar akan menurunkan malaikatnya. Malaikat yg mempunyai nafsu, malaikat yg mampu mendekapku erat, malaikat yg tak pernah bosan meningatkan akan titah Tuhannya.